Jumat, 02 April 2010

FENOMENA "SALAFY" DAN MANHAJ KRITIK TERHADAP ORANG LAIN

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas baginda Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarga dan segenap pengikutnya hingga hari akhir kelak.
Munculnya gerakan "salafy"[1] di tengah para pegiat dakwah merupakan peristiwa fenomenal. Dengan gaya khas-nya, kelompok ini mengobok-obok para ulama, du'at serta jama'ah-jama'ah dakwah lain yang tidak sepaham dengan mereka.
Padahal, sebelum era 90-an, yakni sebelum pecah perang teluk, barisan kaum muslimin khususnya para pengusung al-haq di seluruh pojok dunia terfokus menghadapi geliat penyimpangan akidah, kaum kuffar, dan sekuler.[2] Namun tiba-tiba dunia seolah dikejutkan oleh fenomena lahirnya fikrah "salafy" ini. Begitu fenomenal. Sebab hadir dengan sebuah fikrah yang membuat banyak orang tercengang, tak percaya. Kelompok anak-anak muda yang sangat berani menyerang dan menuding ulama umat, tak terkecuali para ulama terdahulu yang banyak melahirkan karya-karya monumental bagi umat ini, seperti Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam an-Nawawi dan selain keduanya –rahimahumullah-.

Ketidakpercayaan di sini dilatari oleh sebuah keyakinan umum, bahwa ulama merupakan mercusuar agama ini. Dipandang, dihormati, diberikan tempat layak dalam kapasitasnya sebagai pengarah dan penunjuk bagi umat.[3] Namun sekejap seakan mereka tidak lagi memiliki apa-apa di mata anak-anak muda tersebut. Begitu berani, kalau tidak dikatakan sebagai kelancangan.[4] Olehnya, perhatian dan konsentrasi umat-pun pecah. Disatu sisi sibuk menghadapi makar musuh yang nyata dari kalangan kuffar, munafikin dan sekuler, namun di sisi lain mereka dibebani tugas tambahan membela diri, dan meredam fitnah kelompok "salafy" tersebut. Fatwa-fatwa, nasehat, pengarahan dan sebagainya membumbung ke langit terbidik pada kelompok ini. Hal ini telah disinggung pada akhir tulisan kami Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du'at II, bahwa seluruh fatwa-fatwa dan nasehat ulama yang kami paparkan di dalamnya, mustahil lahir begitu saja tanpa dipantik oleh sebuah fenomena menyedihkan.

Yang membuatnya menjadi semakin fenomenal, gerakan ini begitu cepat merembeti hampir seluruh penjuru dunia. Dan rata-rata penggeraknya adalah anak-anak muda enerjik dan hanya bermodal hamasah. Seruannya pun sama. Hingga pada tataran penerapan fikih ibadah, nyaris serupa di seluruh belahan dunia. Perhatikan awal kemunculannya dibarengi dengan gaya shalat yang sama di hampir seluruh dunia. Yaitu dalam persoalan al-'Ijn (mengepalkan telapak tangan dan menjadikan sebagai tumpuan kala bangkit dari sujud), dan masalah mendahulukan tangan dari lutut saat akan sujud.[5] Sampai sampai pada kenyataan, -dahulu- anak-anak muda ini berasumsi dan menimbang seseorang dari gaya shalatnya. Siapa yang tidak shalat seperti shalat mereka, dinyakini bukan dari kelompok mereka. Yah, sampai pada derajat demikian.

Demikian pula konsep bid'ah, ahli bid'ah dan aplikasi konsep itu dalam kehidupan beragama, masih belum tuntas hingga saat ini.[6] Apalagi pada saat awal kemunculannya. Begitu mudahnya mereka bertikai. Makanya tidak aneh, jika pada hari ini kita saksikan mereka duduk bersama, mengkaji ilmu bersama, menuding orang lain secara bersama, namun esoknya mereka sendiri yang saling menyerang, saling menuding sebagai ahli bid'ah, dan saling merasa diri sebagai ahli sunnah sejati. Setelah itu berebutan menarik sedapat bisa murid-murid dan pengikut, lalu didoktrin melalui hampir seluruh majelis-majelisnya, bahwa mereka-lah ahli sunnah, sedangkan fulan –yang dulu bersamanya- bukan lagi ahli sunnah, menyimpang, dan sebagainya.[7] Pokoknya, Ahlu Sunnah hanya terbatas bagi dirinya dan kelompoknya, dan siapa yang berseberangan dengan mereka, maka mereka-pun berteriak bahwa fulan telah menyelisihi Ahlu Sunnah, demikian pula jika tidak sepaham dengan Syaikh panutannya, mereka akan berkata, si fulan menyelisihi ulama Ahlu Sunnah !!.

Celakanya, murid-murid yang sebelumnya pernah belajar dari ustadz fulan, ketika telah berpindah majelis ikut-ikutan mencela dan menuding mantan ustadznya yang dahulu mendiktekan ilmu syar'i padanya. Tidak ada rasa hormat sedikitpun apalagi menghargai. Makanya dalam beberapa tahun terakhir ini perhatian kaum muslimin di tanah air tersita oleh kelompok ini. Datang secara tiba-tiba, menyerang membabi buta, lalu mereka sendiri saling bertikai. Puncaknya kisruh panjang yang berakhir mubahalah antara Ustadz Ja'far Umar Thalib dari kalangan "salafy” dan Syaikh Syarif Fu'ad Hazza dari Jam'iyyah Ihya' at- Turots yang diperbantukan di Pesantren al-Irsyad Tengaran Salatiga Solo. Lalu disusul kisruh-kisruh lainnya antara Ust. Ja'far dan mantan murid- muridnya yang berujung lahirnya fatwa sang panutan "salafy" Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhaly –hafidzahullah-, bahwa Ust. Ja'far telah meninggalkan Ahli Sunnah, dan kemudian menyeberang ke jama'ah yang sangat bertolakbelakang dengan apa yang ia gaungkan selama ini.[8]

Setelah itu mereka pun berebutan mencari simpati -kalau istilah jawanya sungkeman- di hadapan ulama atau Syaikh yang menjadi panutan dan marja' mereka dalam bermanhaj yang jumlahnya hanya gelintiran. Mencari tazkiyah dan lejitimasi serta meminta fatwa tentang keadaan saudaranya, melalui pertanyaan-pertanyaan umum yang kemudian ditanzil secara serampangan terhadap lawan seterunya. Lalu ditulis atau direkam, setelah itu disebarkan di tengah-tengah masyarakat, khususnya pengikut mereka agar jangan sampai terpengaruh oleh kelompok lain, seraya mengatakan, "Lihatkan Syaikh fulan berfatwa bahwa fulan itu ahli bid'ah, bukan ahli sunnah, telah meninggalkan ahli sunnah dan lain sebagainya". Dan lawan seterunya pun berbuat hal yang sama. Menukil lalu menghembuskan fatwa Syaikh lainnya yang juga berasal dari jenis pertanyaan yang serupa tapi tak sama.

Anehnya, jika muncul fatwa atau risalah dari kalangan ulama mu'tabar dan terpandang bertentangan dengan hawa nafsunya, segera mereka memasang argumen-argumen peredam fatwa itu. Diantaranya, bahwa fatwa itu telah mansukh (terhapus), atau Syaikh fulan telah ruju' dan sebagainya. Tapi jika argumen-argumen tersebut tidak efektif, mereka tidak segan mengatakan, bahwa fatwa dan buku itu adalah karya terjelek yang pernah ditulis oleh Syaikh fulan!.[9] Akhirnya, waktu dan potensi anak-anak muda itu terkuras lantaran disibukkan oleh perlombaan-perlombaan ini dari menuntut dan mendalami ilmu syar'i. Wallahul musta'an.

Jika menilik gaya kelompok "salafy" di seluruh dunia, dan apa yang mereka serukan berupa tahdzir pada ulama-ulama yang mereka anggap hizbi serta perang terhadap manhaj al-muwazanah, maka itu tidak lebih dari sekedar adopsi dari manhaj al-Allamah asy-Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhaly –hafidzahullah- dalam menyikapi orang-orang yang tidak sejalan dengan beliau, yang kemudian dibukukan dalam beberapa karyanya diantaranya dan yang paling nampak adalah "Manhaj Ahli Sunnah fi Naqdi ar-Rijal wa al-Kutub wa ath-Thawaaif".

Dan sebagai bahan renungan, kami akan paparkan secara ringkas manhaj kelompok "salafy" tersebut dalam mengkritik orang lain agar dapat menjadi pelajaran bagi kita.

Pertama: Menjadikan sikap adil, ihsan, persaksian kebenaran, serta menegakkan keadilan sebagaimana perintah Allah Ta'ala: "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri…". (Qs: an-Nisa' : 135), juga firman Allah Ta'ala: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa". (Qs: al-Maidah : 8), dan selainnya sebagai manhaj Ahli Bid'ah yang kemudian dimasyhurkan dengan nama "Manhaj al-Muwazanah" dan bahwasanya metode ini bukan manhaj Ahlul Hadits dan Ahlu Sunnah.

Kedua: Menganggap bahwa tamassuk (berpegang) pada kesalahan dan kekeliruan manusia termasuk bagian dari agama. Dan bahwasanya, manusia tidak ditimbang melainkan dengan kesalahan-kesalahan dan kekeliruan tersebut. Menurut asumsi mereka, hukum terhadap orang lain berdasarkan kesalahan serta kekeliruan, dan bahwasanya setiap kesalahan dan kekeliruan itu menghancurkan kebaikan dan kemuliaan.

Ketiga: Manhaj kritik kelompok "salafy" ini telah melahirkan jama'ah-jama'ah Takfir dan Tafsiq (Jama'ah yang gampang menuduh orang lain kafir dan fasik) yang kemudian menuding sesat ulama Salaful Ummah lalu membakar karya-karya monumental mereka, seperti kitab Fathul Bari karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Syarhu Shahih Muslim karya Imam an-Nawawi, aqidah ath-Thahawiyah dan selainnya. Dan mereka ini, tidak diragukan lagi, adalah alumni dari manhaj dan metode kritik orang lain yang rusak tersebut.

Keempat: Manhaj ini tidak menyisakan tempat terpuji bagi seorang dari ulama Islam, sebab ia dibangun di atas pondasi mengendus-ngendus kesalahan, kekeliruan dan ketergelinciran, padahal tidak ada di dunia ini seorang yang memperoleh sifat al-ishmah kecuali Nabi shallallahu alaihi wasallam.[10] Olehnya, tatkala mereka mengorek-ngorek kesalahan ulama-ulama yang berseberangan dengan Syaikh mereka, maka seteru-seterunya pun membalas dengan perbuatan yang sama, yakni berusaha tanpula mengerik-ngerik kekeliruan dan kesalahan Syaikh mereka juga. Maka jadilah setiap dari kedua kelompok sibuk saling mengendus, mengorek dan mengerik kesalahan yang ada pada lawan seterunya. Olehnya, siapa yang memulai suatu sunnah (kebiasaan) buruk, maka atas dosa (atas perbuatan itu) dan dosa orang yang mengikutinya hingga hari kiamat kelak.

Kelima: Manhaj ini menjadikan para pemuda awam yang masih hijau dalam ilmu syar'i menjadi berani (baca: lancang) merusak dan mencemari harga diri dan kehormatan ulama, serta mengendus kesalahan-kesalahan mereka. Padahal, mereka ini masih sangat hijau dan baru saja akan mendalami ilmu syar'i, dimana kondisi ini –lantaran mereka masih baru– menyebabkan terjadinya banyak penyimpangan di kalangan mereka, diantaranya meninggalkan ajaran-ajaran agama, akhlak, tabiat yang terpuji, dan selainya. Dan anehnya, mereka mendendangkan bahwa perbuatan mencela dan menuding ulama tersebut sebagai bagian dari agama yang dengannya mereka mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.

Keenam: Manhaj dalam mengkritik ala kelompok "salafy" ini menyebabkan rusaknya citra Ahli Sunnah di hadapan orang yang tidak paham terhadap metode Ahlu Sunnah berkaitan dengan sifat adil dan ihsan. Demikian pula di hadapan orang-orang yang jahil terhadap manhaj para ulama-ulama Ahlu Sunnah, hingga mereka menilai bahwa manhaj Ahlu Sunnah itu adalah mencela, menghina, menuduh ahli bid'ah tanpa dasar, dan mengorek-ngorek kesalahan orang lain, yang karenanya memalingkan manusia dari manhaj Ahli Sunnah itu sendiri.

Ketujuh: Manhaj ini menyebabkan pengikutnya terjebak dalam tanaaqhud (pertentangan), lahirnya "dua timbangan" (standar ganda), serta hukum dalam satu masalah dengan dua perkataan yang saling bertentangan.[11] Olehnya, banyak lahir dari kalangan mereka taqiyyah dan dusta. Akibatnya, mereka pun memiliki perkataan-perkataan rahasia dalam membid'ahkan pemuka-pemuka umat, dimana mereka tidak berani menampakkannya di hadapan khalayak.

Kedelapan: Manhaj kritik ini menyebabkan tertutupnya mata hati kebanyakan thullabul ilmi, hingga tanpa disadari mereka berdiri dalam shaf musuh-musuh Islam dalam menghadapi saudara-saudara muslim mereka.

Kesembilan: Manhaj ini menyebabkan perpecahan yang sangat banyak dalam tubuh umat Islam secara umum, dan khususnya barisan Ahli Sunnah, yang belum pernah terjadi pada manhaj manapun. Dimana mereka memberi al-wala dan al-bara hanya lantaran masalah-masalah tertentu dari furu'iyyah agama. Bahkan, mereka menganggap bahwa salafy itu adalah yang berkata ini dan itu, di samping begitu cepat mendepak seorang muslim dari manhaj ahlu sunnah dan barisan para pengikut salafus salih hanya lantaran menyelisihi satu perkara dari masalah-masalah ijtihad, dan wajib mendapatkan al-bara'.

Kesepuluh: Manhaj ini memalingkan kaum muslimin dari menghadapi musuh-musuh Islam yang nyata dari kalangan kuffar dan munafiqin. Dimana pada du'at sibuk membela diri dan kehormatan ulama dihadapan gempuran syubhat dan dusta yang ramai dihembuskan oleh pengekor manhaj ini, hingga memberi ruang yang lapang bagi musuh-musuh Islam menancapkan taring-taring mereka dalam agama yang mulia ini.[12]

Terakhir, kami akan nukilkan perkataan al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hambali –rahimahullah- dalam kitabnya Jami' al-Ulum wa al-Hikam I/340, berkaitan dengan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dari 'Uqbah bin 'Amir radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang menutupi aib seorang mukmin, niscaya Allah Ta'ala akan menutupi (aib) nya pada hari kiamat", beliau (Ibnu Rajab) berkata: Diriwayatkan dari perkataan sebagian salaf: "Sungguh aku mendapati suatu kaum yang sebenarnya mereka tidak memiliki aib dan cela, namun mereka suka mengungkit aib-aib manusia, maka orang lain pun mengungkap aib-aib mereka. Sebaliknya, aku juga mendapi suatu kaum yang memiliki banyak aib dan kekurangan, namun mereka menahan diri dari (mencari-cari) aib orang lain, maka aib-aib mereka pun terlupakan".
Demikian pula Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah –rahimahullah- memiliki perkataan berharga dan pantas digoret dengan air mata, sebab jelas melukiskan kondisi sebagian penuntut ilmu di zaman ini: "Merupakan perkara aneh, seorang itu begitu mudah baginya menjaga diri dari makanan haram, berlaku zalim, zina, mencuri, minum khamer, memandang sesuatu yang diharamkan dan sebagainya, namun sulit baginya mengontrol gerakan lisannya. Hingga engkau melihat seorang yang terkenal akan kebaikan agama, sifat zuhud dan ibadah, namun ia berkata-kata dengan kalimat yang memancing murka Allah sementara ia tidak peduali akan hal itu, namun satu kalimat itu cukup menjauhkannya antara timur dan barat. Betapa banyak engkau saksikan seorang yang begitu wara' (menjaga diri) dari perbuatan keji dan zalim, namun lisannya panjang dalam (mencela) kehormatan dan harga diri orang, baik yang masih hidup maupun yeng telah mati, serta tidak ambil peduli terhadap apa yang ia ucapkan".[13] (AbRh).

[1] . Perlu ditegaskan, kami menggunakan istilah "salafy" (dengan menggunakan tanda petik) sebagai ta'rif (pengenal) bagi kelompok ini, karena kami yakin tidak seluruh yang menisbatkan diri pada dakwah salaf berperangai seperti mereka. Demikian pula, hanya nama ini-lah -"salafy"- yang mereka diridhai (semoga nama tersebut sesuai dengan subtansinya). Jika kami menggunakan nama lain, misalnya MANIS, atau Rabi'iy, atau Muqbily, sebagaimana mereka menamakan kelompok-kolempok lain dengan istilah Surury, Ikhwany, Turotsy dan sebagainya, mereka murka dan sangat keberatan, seraya menyatakan bahwa mereka tidak pernah menisbatkan nama kelompok mereka dengan nama-nama tersebut, dan kami tidak ingin menzalimi mereka dalam hal ini.

[2] . Al-Allamah Fadhilatus Syaikh Abdullah bin Qu'ud berkata dalam ceramahnya yang berjudul Washaya li ad-Du'aat, vol. II setelah memeparkan fitnah tajriih khususnya terhadap para ulama: "...wahai saudara-saudaraku, sesuai pengalaman selama empat puluh tahun lalu, kita tidak mendapatkan seperti wajah-wajah ini…". (Lihat dan dengarkan di: www.islamgold.com).

[3] . Seperti diketahui bahwa kedudukan alim ulama begitu tinggi dalam syari'at Islam. Banyak ayat al-Qur'an dan sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam yang menjelaskan akan hal tersebut, diantaranya Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama". (Qs. Fathir : 28). Juga firman-Nya: "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat". (Qs. Al-Mujadilah : 11).

Adapun keterangan dari as-Sunnah, maka cukuplah bagi kita sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: "Keutamaan seorang alim di atas abid (ahli ibadah) seperti keutamaan bulan purnama dibandingkan bintang-bintang. Para ulama itu adalah pewaris para nabi, sedang para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Hanya saja yang mereka wariskan adalah ilmu, maka siapa yang mengambilnya, sungguh ia telah mengambil bagian yang sangat benyak". (HR. Abu Daud, ati Tirmidzi, ad-Darimi, hadits ini derajatnya hasan).

Ibnul Qoyyim rahimahullah memberi banyak catatan pada hadits ini, diantaranya catatan beliau adalah, dikarenakan warisan itu berpindah kepada orang yang paling dekat dengan (sang mayyit), maka ini merupakan peringatan bahwa ulama adalah golongan yang paling dekat dengan para Nabi. (Lihat: Miftah Daar as-Sa'adah, Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, hal 66. Program al-Maktabah al-Syamilah, vol 3.3).

Bahkan di antara ushul manhaj Ahlu Sunnah wal Jama'ah sebagaimana ditegaskan oleh al-Allamah Syaikh Abdur Rahman as-Sa'di –rahimahullah- adalah: "Mereka mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan menghormati para ulama yang membawa petunjuk". (Lihat: al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, Abdur Rahman as-Sa'di, I/13. Program al-Maktabah al-Syamilah, vol. 3.3).

Hasan Al Bashri berkata: Adalah mereka (para salaf) berkata: "Kematian seorang ulama merupakan cela pada (bangunan) Islam, dan tidak ada sesuatu yang dapat menambalnya sepanjang pergantian siang dan malam". (Lihat: Sunan ad-Darimi, Abu Muhammad ad-Darimi, no: 324. program al-Maktabah al-Syamilah).

Dari Hilal bin Khabbab, ia berkata: "Aku bertanya kepada Said bin Jubair: Apa tanda kebinasaan bagi manusia? Beliau menjawab: "Jika ulama mereka telah wafat". (Lihat: Ibid, no 241).

[4] . Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang memusuhi wali-wali-Ku, maka sungguh Aku nyatakan perang atasnya…". (HR. Bukhari).

Imam al-Khatib al-Baghdadi –rahimahullah- meriwayatkan dari Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi'i –rahimahumallah-, bahwa keduanya berkata: "Jika sekiranya para fuqaha (ulama fikih) itu bukan wali-wali Allah, maka sungguh Allah tidak memiliki wali". (al-Majmu', I/24, program al-Maktabah al-Syamilah).

Ibnu Abbas –radhiallahu anhuma- berkata: "Siapa yang menyakiti seorang faqih (ulama) sungguh ia telah menyakiti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan siapa yang menyakiti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka sungguh ia telah menyakiti Allah Azza wa Jalla". (Ibid).

[5] . Yang menjadi pertanyaan di sini, berkaitan dengan keseragaman gaya dan gerakan shalat pemuda-pemuda gerakan "salafy" tersebut. Apakah lahir dari pendalaman dan pengkajian hingga setiap dari mereka sampai pada kesimpulan bahwa demikianlah gaya dan gerakan yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, atau hanya sekedar taklid atau ikut-ikutan orang banyak?? Memang benar bahwa hal ini disinggung dalam buku Sifat Shalat Nabi karya Muhaddits abad ini, Syaikh al-Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani. Kendati pada akhirnya sebagian mereka (khususnya "salafy" di Makassar) lantas merubah dan tidak lagi mengamalkan gerakan "khusus" yang kami sebutkan di atas, sebab tenyata tidak sejalan dengan pendapat asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i (guru Ust. Zulkarnain) di Yaman. Ala kulli hal, anak-anak muda "salafy" itu biasanya hanya taqlid kepada syaikh atau gurunya termasuk dalam persolan fiqh yang sifatnya furu’ seakan-akan harus seragam, bukankah ini ada indikasi taqlid? Wallahu A'lam.

[6] . Sebagai contoh, dan masih banyak lagi contoh-contoh lain. Kasus yang terjadi beberapa tahun lalu, pada salah satu daerah di Sumatera. Seorang ustadz "salafy" kala mengkaji perkataan salaf yang menyatakan bahwa maksiat itu lebih ringan daripada bid'ah, ia kemudian berkata dalam sebuah mesjid yang mayoritas penduduknya berpaham NU, "Lebih baik antum sekalian pergi berzina dan mencuri daripada ikut tahlilan…!!". Serentak masyarakat mengamuk dan mengusir mereka. Sekitar thn 2005 kemarin, saat bertemu dengan teman kami yang kampungnya berseberangan dengan daerah tempat kejadian ini, ia menuturkan, bahwa sampai saat itu (thn 2005) padahal kejadiannya telah berlalu beberapa tahun lalu, masyarakat masih melalukan sweeping mobil-mobil yang lewat daerah mereka, lalu memukuli jika ada yang nampak ciri-ciri "salafy" padanya.

[7] . Celakanya, tudingan-tudingan tersebut terkadang telah sampai pada taraf menta'yin seseorang selain kelompoknya sebagai ahli neraka. Sebagaimana kejadian yang terjadi pada ikhwah kami di Raha –alhamdulillah, ikhwah yang dituding masih hidup dan bisa dikonfirmasikan setiap saat-, saat beliau berpapasan dengan salah seorang murid hasil tarbiyah ustadz "salafy", dan mengucapkan salam maka dijawab dengan kalimat yang membuat bulu kuduk merinding: "Afwan akhi, kita berbeda akidah, ana ahlul Jannah wa anta Ahlu Naar !!??". Yah, sampai sedemikian jauh penerapan kaidah hajr yang diaplikasikan oleh murid-murid kelompok "salafy".

Demikian pula terjadi di Makassar, seorang seorang akhwat yang baru saja mendapat hidayah (baru saja pakai jilbab) melalui sebab seorang ustadz –alhamdulillah ustadz Alumni Fak. Syari'ah STIBA dan memiliki jam terbang dakwah yang padat tersebut masih hidup dan dapat dikonfirmasi setiap saat-, setelah mendengarkan kaset hujatan Ust. Zulkarnain terhadap WI, ia lantas menulis surat kepada sang Ustadz dengan kalimat-kalimat yang juga membuat hati menangis. Kami tidak hendak menulis secara detil isi suratnya, tapi cukup kami sebutkan awal suratnya: "Dari ukti…..kepada Ustadz fulan Ahli Bid'ah !!?".

Ada juga yang pernah diceritakan oleh salah seorang Syaikh -dosen Fakultas Hadits di Universitas Islam Madinah al-Minawwarah- di kelas pada saat perkuliahan, dan ini terjadi di Saudi, saat muncul kaset atau buku yang mentahdzir seorang da’i yang dituding menyimpang, maka kaset dan buku tersebut lantas dibagi di tempat-tempat umum oleh kelompok "salafy", hingga orang awam dan orang yang tidak shalat pun mendapatkan, lalu ikut-ikutan mentahdzir du’at tersebut. Anehnya, merasa diri lebih baik daripada du’at yang ditahdzir, kendati shalat mereka belum beres !!.

Di Kendari pun demikian, seorang Ustadz –alhamdulillah, masih hidup dan bisa dikonfirmasi setiap saat-, kala berpapasan dengan salah seorang murid tarbiyah "salafy" dan mengucapkan salam, dijawab dengan jawaban: "Laa ya akhi, ana ahlul haq wa anta ahlul Batil ??!!".

Dan masih banyak dan banyak lagi, kasus-kasus serupa yang terjadi di tanah air, yang jika dikumpulkan cukup untuk membuat berjilid-jilid buku. Wallahul musta'an. Fenomena menyedihkan ini sengaja kami singgung di sini, agar para asatidzh kelompok "salafy" sadar dan introspeksi diri, ada apa dengan manhaj tarbiyah mereka terhadap anak-anak muda tersebut? Boleh saja dalam tataran para asatidzah tidak terlalu bermasalah, sebab mereka memiliki bekal ilmu syar'i, namun bagaiman dengan anak-anak muda yang baru belajar baca al-Qur'an lalu dengan seenaknya mengaplikasikan apa yang mereka pahami dari pengajian dan muhadharah ustadz-ustadz "salafy"-nya? Sayangnya para asatidzah dan Masyaikh panutan kelompok "salafy" itu hanya berada di atas menara gading, dan tidak mengetahui hakikat yang memiriskan ini. Seandainya mereka tahu, sungguh mereka akan bergidik dan menangis …sebab Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka baginya dosa (dari perbuatan tersebut) dan dosa orang yang mengikutinya….".

[8] . Dan ini yang paling dominan dalam kelompok "salafy". Mudah bertikai dan berpecah hanya lantaran perbedaan dalam masalah furu'iyyah dan bukan usuliyyah. Intinya, hal ini telah menjadi semacam sebuah kaidah yang berlaku di antara mereka, "In lam Takun Ma'ii', fa Anta 'aduwwun lii", (jika anda tidak bersama saya, maka anda adalah musuh bagiku). Olehnya, perhatikan wahai ihkwah, sejak awal kemunculan fikrah "salafy" hingga hari ini, kita melihat begitu mudahnya mereka saling menyerang dan saling menyesatkan antara mereka. Padahal sebelumnya berada dalam satu shaff. Kami tidak ingin bicara dalam skala tanah air, dalam skala Makassar saja begitu nampak dan banyak pecahan-pecahan "salafy" yang masing-masing menganggap diri paling salafy dan paling ahli sunnah. Realita akan kenyataan miris ini begitu amat nyata, bagaikan matahari hingga tak ada seorang-pun yang mengingkarinya. Dan berita paling hangat saat ini adalah tahdzir (perpecahan) Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhaly –hafidzhullah- terhadap Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid al-Atsary –hafidzahullah- murid senior Syaikh Nashiruddin al-Albany yang juga selama ini menjadi mercusuar dakwah salaf di tanah air dan pernah berpolemik panjang dengan Lajnah Daimah (Komisi Tetap Fatwa dan Penerangan) Saudi Arabiyah dalam masalah iman. Makanya, sangat terbukti nasehat sebagian para masyaikh yang mencegah kami menyibukkan diri dalam masalah ini, dan menyatakan bahwa antum akan lihat gerakan "salafy" ini, jika tidak ada lagi di hadapan mereka yang dapat dimakan (diserang), maka mereka akan saling memakan di antara mereka sendiri. Pertanyaannya, sampai dan kapan akan berakhir hal ini? Bukankah Islam dan manhaj Ahlu Sunnah menyeru persataun dan mencegah perpecahan? Wallahul musta'an.

[9] . Tatkala Fadhilatus Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaid (Anggota Hai'ah Kibarul Ulama dan termasuk ulama paling terpandang dalam jajaran Kibarul Ulama di Saudi Arabiyah) menulis sebuah buku berharga berjudul Tashnifun Naas Baina ad-Dzon wa al-Yaqin, yang tenyata sangat tidak sejalan dengan hawa nafsu kelompok "salafy" ini, maka semisal Ust. Abdul Qadir datang sambil menukil ucapan Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i yang mengatakan: "(buku ini) teranggap sebagai sesuatu yang paling jelek beliau tulis…". Ma'adzallah. Kami bukan membela pribadi penulisnya, tapi silahkan antum membaca isi dari buku yang sangat berharga tersebut, lalu bandingkan dengan ucapan tendensius ini. Dan perlu antum ketahui, Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaid –rahimahullah- termasuk ulama yang terkenal produktif melahirkan karya-karya berkualitas. Hingga tidak berlebihan jika kita mengatakan, bahwa tidak ada karya yang beliau lahirkan melainkan memiliki kualitas tinggi. Olehnya, Syaikh al-Allamah Faqihul Ashr Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –rahimahullah- pun sempat memberi syarah terhadap salah satu karya beliau (pada saat Syaikh Bakr masih hidup), yakni Syarah Hilyah Thalibil Ilmi. Lantas kemudian, datang sebuah ungkapan yang sangat tendensius bahwa karya beliau tersebut adalah yang terjelek yang penah beliau tulis !!??. Dan kita pun tahu apa indikasi dari ucapan tersebut terhadap penulisnya sendiri –yakni Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaid –rahimahullah-. Demikian pula dapat kami katakan, bahwa siapa yang menempatkan Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i (bersama dengan kemuliaan dan ilmu beliau) sebagai penimbang dan penentu hukum bagi karya Fadhilatus Syaikh Bakr Abu Zaid, yang kemudian digunakan sebagai mizan oleh kelompok "salafy" untuk mendiskreditkan karya berharga beliau tersebut? Padahal, apa yang beliau paparkan dalam buku tersebut merupakan manhaj para ulama Ahlu Sunnah Mu'tabar zaman ini, seperti al-Allamah Syaikh Abdul Aziz bin Baz, al-Allamah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, al-Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Allamah Abdur Rahman al-Jibrin, al-Allamah Abdul Aziz Alu Syaikh mufti Saudi Arabiyah saat ini, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin kami sebutkan di sini. Dan yang menjadi kekhawatiran kami, jangan sampai fatwa-fatwa Kibarul Ulama semisal Samahatus Syaikh al-Allamah Abdul Aziz Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Allamah Abdur Rahman al-Jibrin, dan selainnya yang tidak sejalan dengan hawa nafsu mereka, lalu dikatakan pula sebagai fatwa terjelek yang pernah dikeluarkan –semoga saja tidak demikian adanya-…wallahul musta'an.

[10] . Karena manhaj ini-lah maka kita dapati kelompok "salafy" begitu mudahnya bertikai dan berantem di antara mereka. Seorang itu ditimbang melalui kesalahan-kesalahan yang ia buat, dan bukan kebaikan yang ada pada dirinya. Padahal semua mengakui bahwa tidak ada yang bebas dari dosa melainkan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan siapa yang mengharap teman tanpa aib dan dosa, niscaya ia tidak akan mendapati kawan hingga selamanya.

[11] . Sebagai contoh dan masih banyak contoh yang lain, dan sebenarnya telah kami paparkan pada artikel Silsilah Pembelaan para Ulama dan Du'at: (1). Kala mereka menuding Syaikh Dr. Safar al-Hawali –hafidzahullah- sebagai pemberontak dan sebagainya lantaran fatwa beliau bertentangan dengan Fatwa Majelis Ulama Saudi dalam masalah izin masuk bagi tentara Amerika di semenanjung Arabiah dan mendirikan pangkalan militer di sana, padahal pendapat beliau sejalan dengan pendapat Syaikh al-Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani –rahimahullah- juga isyarat dari Syaikh al-Allamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan, -hafidzahullah-, namun anehnya yang dicela habis-habisan hanya Syaikh Dr. Safar al-Hawaly dan tidak bagi kedua Syaikh selain beliau. (2). Demikian pula celaan mereka terhadap para ulama seperti Dr. Safar al-Hawali, Dr. Salman dan selain mereka, lantaran mereka menentang pemerintah Saudi (itu kala benar tuduhan mereka), hingga pantas dikategorikan sebagai khawarij pemberontak, padahal perbuatan yang sama pun (bahkan lebih keras lagi) dilakukan oleh al-Allamah Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'y –rahimahullah- (yang akhirnya beliau ruju' dan bertaubat), anehnya tudingan sesat pemberontak hanya dibidikkan pada Syaikh Dr. Safar, Dr. Salman dan selainnya dan tidak pada Syaikh Muqbil. (3). Kala menuding Dr. Safar, Dr, Salman, Syaikh Abdul Rahman Abdul Khaliq sebagai ahli bid'ah lantaran membela kehormatan orang-orang yang berjasa bagi Islam ini, semisal Sayyid Qutub –rahimahullah-, padahal dalam waktu yang sama Syaikh Abdur Rahman al-Jibrin, Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Allamah Abdullah bin Qu'ud dan banyak lagi ulama-ulama kibar mu'tabar juga mengeluarkan pernyataan yang sama. Anehnya, yang dicerca hanya kelompok ulama pertama dan tidak untuk kelompok kedua. (4). Masalah kekeliruan Syaikh Dr. Safar al-Hawali masal lalu, yang kemudian telah beliau klarifikasi dan bantah di hadapan al-Allamah Syaikh Ibnu Utsaimin, tetap dan terus diungkit-ungkit oleh kelompok Syaikh Rabi' dan "salafy", sementara masa silam Syaikh Rabi' yang pernah menjadi anggota aktif dan menjadi tokoh Ikhwanul Muslimin selama 13 tahun tidak pernah disentuh-sentuh…dan masih banyak lagi pembaca budiman, tanaqhudhaat (pertentangan-perentangan) dalam manhaj "salafy" ini, dikarenakan adanya standar ganda dalam manhaj tersebut. Jadi yang dimaksud dengan dua timbangan dalam poin di atas adalah "timbangan buat orang-orang kuat" dan "timbangan buat orang-orang lemah". Dan kami hanya mengatakan, ma'adzallah, maa lakum kaifa tahkumun ?

[12] . Tatkala Iyas bin Mu'awiyah –rahimahullah- menyaksikan seseorang yang menggibah saudara muslim-nya, beliau pun bertanya: "Apakah engkau pernah berperang melawan Romawi?" Ia menjawab: "Tidak". "Apakah engkau pernah memerangi As Sind, India dan Turki". Ia menjawab: "Tidak". Beliau –Iyas bin Mu'awiyah- lantas berkata: "Selamat dari-mu Romawi, as-Sind,,India dan Turki namun tidak selamat dari –kejelekan lisanmu- saudara muslim-mu". (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir, IX/336. Program al-Maktabah al-Syamilah, vol. 3.3)

[13] . Al-Jawabul Kafiy Liman Saala an ad-Dawaai asy-Syafi, hal 111. al-Maktabah al-Syamilah, vol. 3.3.

sumber:alinshof.com